Jakarta – Direktur Center for Economic and Law Studies ( Celios ), Bhima Yudhistira, menilai perang dagang akibat kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) akan berdampak pada pekerja di sektor padat karya.
Dengan menurunnya ekspor produk industri padat karya akibat kenaikan tarif Trump, Bhima menyebutkan risiko PHK di sektor tersebut akan semakin besar.
Bhima menyoroti risiko ekonomi yang signifikan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif baru-baru ini, dengan menyatakan, “Hasil pemodelan Celios menghitung penurunan output ekonomi karena tarif timbal balik mencapai Rp164 triliun.
Sementara itu, jumlah lapangan pekerjaan diperkirakan berkurang 1,2 juta orang pada tahun ini,” dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada Selasa, 29 April 2025.
Seperti yang dilaporkan sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan gelombang baru kenaikan tarif impor pada hari Rabu, 2 April. Kebijakan yang direvisi tersebut mencakup kenaikan tarif dasar hingga 10 persen untuk semua produk yang masuk ke Amerika Serikat.
Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang daya saing ekspor Indonesia di pasar AS, karena tarif tambahan kemungkinan akan membuat barang-barang Indonesia lebih mahal dan kurang menarik.
Bhima tidak sendirian dalam mengungkapkan kekhawatirannya atas potensi peningkatan pengangguran akibat kebijakan perdagangan Trump. Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyuarakan sentimen ini.
Ia menekankan kerentanan ekspor Indonesia di bawah rezim tarif baru, dengan mencatat, “Ekspor kita ke AS didominasi oleh produk industri padat karya,” dalam pernyataan yang dibuat pada hari Kamis, 3 April 2025.
Wijayanto juga memperingatkan bahwa tarif ini dapat menyebabkan perlambatan ekonomi yang lebih luas. Lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD diperkirakan akan merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi mereka ke bawah.
Ia menambahkan bahwa investor cenderung mengalihkan modalnya ke aset yang lebih aman, seperti emas dan obligasi pemerintah, sebagai respons terhadap meningkatnya ketidakpastian.
Faktanya, edisi April 2025 dari Prospek Ekonomi Dunia dari IMF mencerminkan perubahan ini.
IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,1 persen, menghubungkan penyesuaian tersebut dengan eskalasi perang dagang yang dipicu oleh tarif timbal balik AS.
Tanggapan Diplomatik Pemerintah
Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia telah memulai upaya diplomatik untuk meredakan dampak kenaikan tarif tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa delegasi telah dikirim ke Amerika Serikat untuk melakukan negosiasi pada 16 hingga 23 April 2025.
“Indonesia minta tarif kita sama dengan negara lain, baik Vietnam, Bangladesh, supaya kita bisa punya equal level playing field dengan negara lain,” kata Airlangga saat jumpa pers di Istana Negara, Senin, 28 April 2025.
Ia mencatat bahwa delegasi tersebut terlibat dengan berbagai tokoh kunci, termasuk perwakilan dari kantor Perwakilan Dagang AS, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional, serta delegasi dari beberapa negara lain.
Airlangga juga melakukan diskusi virtual dengan Menteri Luar Negeri Australia, Menteri Perdagangan dan Industri Korea Selatan, Asosiasi Industri Semikonduktor, Dewan Bisnis AS-ASEAN, dan Masyarakat AS-Indonesia.
Di antara usulan Indonesia adalah tawaran untuk meningkatkan investasi di Amerika Serikat melalui proyek Amonia Biru senilai US$2 miliar milik PT Indorama di Louisiana. Selain itu, pembicaraan tersebut mencakup kerja sama di bidang mineral penting dan kolaborasi teknis di bidang pendidikan dan sains.