Jakarta – Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal menilai tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex adalah tindakan ilegal dan melanggar hukum. Said menyampaikan hal itu saat menyampaikan pernyataannya sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). “Partai Buruh dan KSPI menyatakan tindakan PHK terhadap 8.400 karyawan Sritex adalah tindakan ilegal dan bertentangan dengan Undang-Undang,” kata Said dalam jumpa pers virtual, Ahad, 2 Maret 2025.
Menurut Said, PHK karyawan Sritex tersebut melanggar UU Ketenagakerjaan, baik yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja maupun UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Said memaparkan beberapa alasan mengapa PHK yang dilakukan Sritex tersebut harus dikategorikan sebagai tindakan ilegal. Pertama, Said mempertanyakan mekanisme PHK ribuan karyawan Sritex yang tidak didahului dengan perundingan bipartit dan tripartit.
Said menduga manajemen Sritex tidak melakukan negosiasi dengan para pekerja saat memutuskan pemutusan hubungan kerja. Ia mempertanyakan risalah perundingan tersebut, apakah ada. Terkait mekanisme tripartit, Said juga menyoroti minimnya keterlibatan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Sukoharjo dalam proses PHK. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, mekanisme PHK diawali dengan perundingan bipartit.”
Said mengklaim bahwa perusahaan meminta setiap pekerja untuk mendaftarkan diri dalam PHK. Namun, menurutnya, tidak ada PHK massal yang dilakukan melalui mekanisme pendaftaran mandiri. Oleh karena itu, ia menduga ada intimidasi jika ribuan pekerja langsung setuju di-PHK tanpa mekanisme bipartit maupun tripartit. “Atau karyawan ditipu agar setuju tanpa diberi tahu mekanisme PHK,” katanya.
Alasan kedua yang dikemukakan Said yang mendasari dugaan PHK ilegal adalah minimnya ruang bagi buruh untuk menolak di-PHK. Dari pengamatannya, Said menilai sebagian besar mantan karyawan Sritex patuh terhadap keputusan PHK. Namun, menurut Said, jika ada satu orang saja yang menolak PHK, itu belum bisa dianggap sebagai kesepakatan.
Ia menuntut agar bukti-bukti perundingan bipartit dan tripartit yang baik antara mantan karyawan dengan perusahaan Sritex diungkapkan untuk memastikan tercapainya kesepakatan yang adil. Karena itu, Said menilai para pekerja yang kehilangan pekerjaan seharusnya mendapat kepastian tentang pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan, dan jaminan hari tua.
Oleh karena itu, Said menyatakan akan membuka posko advokasi di depan pabrik Sritex untuk memperjuangkan hak-hak buruh. “Posko ini akan menampung buruh yang tidak setuju dengan PHK, tidak setuju dengan besaran pesangon, dan hak-hak lainnya,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kabupaten Sukoharjo Sumarno menyatakan karyawan Sritex berhenti bekerja terhitung sejak 1 Maret 2025. Sementara itu, Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group Slamet Kaswanto membenarkan total karyawan dan buruh Sritex yang kehilangan pekerjaan akibat putusan pailit tersebut, terhitung sejak Januari hingga 26 Februari 2025 berjumlah 10.665 orang.
Jumlah tersebut berasal dari empat perusahaan di bawah naungan Sritex Group, yakni PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali. Keempat perusahaan di bawah naungan Sritex Group tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang karena tidak mampu membayar utang kepada para kreditor. Putusan pailit tersebut dikeluarkan setelah pemasok mereka, PT Indo Bharat Rayon, menggugat Sritex atas wanprestasi pembayaran utang.
Total utang Sritex saat itu mencapai Rp26,02 triliun. Utangnya kepada Indo Bharat sendiri hanya Rp101,31 miliar per Juni 2024 atau 0,38 persen. Namun, keterlambatan pembayaran utang tersebut berakibat fatal setelah perusahaan mencapai homologasi dengan para kreditor, yang otomatis membuat mereka pailit. Sritex menggugat putusan tersebut dengan mengajukan banding. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sritex pada 18 Desember 2024.