Kebutuhan Mendesak untuk Mengatur Fintech

Business New CityRuntuhnya beberapa perusahaan fintech peer-to-peer lending telah menimbulkan banyak kekhawatiran bagi investor perorangan. Mereka terlambat mengantisipasi risiko besar yang terlibat. Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperketat regulasi yang mengatur layanan keuangan yang menghubungkan pemberi pinjaman dan peminjam secara langsung melalui platform digital ( peer – to-peer lending ) sudah terlambat. Upaya ini baru akan dilakukan setelah banyak yang menjadi korban model bisnis yang bermasalah dan merugikan pemberi pinjaman ini.

OJK saat ini tengah membahas regulasi untuk membatasi keterlibatan pemberi pinjaman perorangan nonprofesional yang mencari imbal hasil tinggi dalam pendanaan skema peer-to-peer lending. Hal ini dipicu oleh makin banyaknya perusahaan peer-to-peer lending yang gulung tikar akibat tingginya angka gagal bayar pinjaman. Para pemberi pinjaman gigit jari karena tidak semua modal pinjamannya dilindungi asuransi.

TaniFund dan Investree adalah dua perusahaan teknologi finansial (fintech) yang telah dilikuidasi karena bangkrut. Kini KoinWorks tinggal menunggu penutupan setelah ratusan miliar rupiah pinjamannya gagal bayar oleh debiturnya. Manajemen perusahaan fintech bukan satu-satunya yang dirugikan. Para pemberi pinjaman juga menjadi korban.

Banyak pemberi pinjaman yang tergiur dengan prospek keuntungan yang tinggi. Keuntungan pemberi pinjaman dapat mencapai lebih dari 10 persen per tahun, jauh di atas suku bunga simpanan bank yang hanya di bawah lima persen. Daya tarik inilah yang membuat industri peer-to-peer lending tumbuh begitu pesat—selain dari banjir dana dari investor sektor teknologi. Hingga Oktober 2024, tercatat 97 perusahaan yang bergerak di bidang peer-to-peer lending. Sementara itu, jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai Rp75,02 triliun.

Belakangan ini, industri ini mulai menunjukkan jati dirinya. Tingkat kredit macetnya tinggi. Tingkat risiko kredit macet agregat (TWP 90) per Oktober 2024 adalah 2,37 persen. Ketika pembayaran angsuran peminjam menunggak, pemberi pinjaman langsung terkena dampaknya. Sebab, tidak seperti bank yang mendanai penerbitan pinjaman melalui simpanan nasabah—yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan—peer-to-peer lending hanya bertindak sebagai saluran pinjaman dari pemberi pinjaman kepada peminjam. Risiko tidak ditanggung oleh perusahaan, seperti di perbankan, ketika terjadi gagal bayar utang, tetapi ditanggung oleh pemberi pinjaman itu sendiri.

Sebagian besar pemberi pinjaman menyadari risiko ini. Namun, banyak yang tertipu karena tergiur dengan prospek keuntungan tinggi dengan klaim risiko yang terukur. Dalam situasi ini, OJK sebagai satu-satunya otoritas keuangan seharusnya dapat membaca situasi dan mengatasinya lebih cepat.

Namun, OJK tampak ragu-ragu untuk bertindak dalam beberapa tahun terakhir. Alih-alih bersikap tegas, OJK, pemerintah, dan industri keuangan justru melihat peer-to-peer lending berbasis teknologi sebagai solusi untuk mengatasi masalah akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Peer-to-peer lending sebenarnya adalah lingkaran setan. Perusahaan fintech harus menggoda pemberi pinjaman dengan imbal hasil tinggi untuk mengamankan modal pinjaman. Alhasil, fintech harus mengenakan suku bunga lebih tinggi kepada peminjam untuk menghasilkan imbal hasil bagi pemberi pinjaman dan membiayai operasi mereka yang mahal. Ujung-ujungnya, seolah-olah UMKM atau usaha kecil dijebak oleh rentenir.

Tidak butuh waktu lama untuk melihat bahwa model bisnis ini bermasalah. Jika pemerintah dan pihak berwenang ingin memperluas akses masyarakat terhadap pembiayaan, ada banyak model yang lebih sehat yang dapat didorong, seperti kredit usaha rakyat, bank grameen (yang menyediakan kredit mikro untuk penduduk pedesaan), dan penguatan bank kredit rakyat di banyak provinsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *