Business New City – Gelombang PHK kembali terjadi di industri tekstil. Hal ini terjadi akibat buruknya koordinasi antarkementerian dalam menyusun regulasi.
Runtuhnya industri tekstil dalam negeri yang mengakibatkan gelombang PHK merupakan akibat dari kekacauan regulasi pemerintah. Tanpa perbaikan menyeluruh, sektor industri lain dapat mengalami nasib yang sama.
PHK massal ini terjadi di sektor tekstil dan produk turunannya. Menurut Konfederasi Serikat Buruh Nusantara, 50.000 orang telah di-PHK di industri tekstil. Yang terbaru, 11.000 pekerja dari enam perusahaan di-PHK. Perubahan kebijakan impor yang terus-menerus menjadi penyebab hilangnya pekerjaan ini.
Contohnya, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Kebijakan Impor telah mengalami tiga kali perubahan. Awalnya, Peraturan Nomor 36/3023, kemudian Nomor 3/3024, kemudian Nomor 7/3024, dan terakhir Nomor 8/3024. Perubahan-perubahan tersebut terjadi hanya dalam rentang waktu tiga bulan. Hal ini merupakan tanda-tanda kurangnya koordinasi antarkementerian, kegagalan dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat, dan ketidakmampuan pemerintah dalam menentukan prioritas.
Permendag Nomor 36 Tahun 2023 diubah karena banyak ditentang oleh industri karena menimbulkan kendala dalam memperoleh bahan baku kimia. Permendag Nomor 3 Tahun 2024 kemudian muncul untuk mengakomodir hal tersebut, namun pada akhirnya justru memicu protes dari masyarakat yang kembali dari luar negeri maupun para pekerja migran. Kemudian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 kembali menuai protes dari para importir karena mempersulit impor barang. Kini, Permendag Nomor 8 Tahun 2024 justru dikecam oleh sektor tekstil dan produk turunannya karena menyebabkan membanjirnya pakaian impor.
Salah satu pasal fatal dalam Peraturan No. 8/2024 adalah penghapusan pertimbangan teknis untuk impor pakaian jadi. Importir kini bebas mengimpor pakaian jadi dari luar negeri hanya dengan memberikan rencana impor selama satu tahun. Tidak ada lagi persyaratan terkait kapasitas gudang, penjualan, atau modal.
Kurangnya kejelasan dalam regulasi ini menyebabkan kegiatan operasional di pabrik-pabrik menurun. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, utilisasi pabrik tekstil dan pakaian jadi kini turun hingga kurang dari 60 persen dari kapasitasnya. Yang paling terdampak adalah permintaan benang yang turun hingga hanya 40 persen.
Melihat kondisi ini, seharusnya pemerintah membunyikan alarm peringatan. Ada yang tidak beres dengan industri tekstil kita. Jika negara lain seperti Tiongkok bisa mengekspor garmen dengan praktik dumping, seharusnya pemerintah mengantisipasinya dengan mengenakan bea masuk antidumping dan tindakan pengamanan. Ternyata, regulasi bea masuk antidumping untuk kain belum diperpanjang, padahal industri sudah meminta hal ini sejak 2022.
Pemerintah tidak dapat menyenangkan semua orang saat menyusun kebijakan. Namun, pemerintah dapat meminimalkan kesulitan dengan memprioritaskan sektor industri tertentu yang menyerap banyak tenaga kerja. Misalnya, industri tekstil dan produk tekstil—bersama dengan sektor makanan dan minuman—mempekerjakan 3,6 juta pekerja penuh waktu.
Pemerintah Jokowi harus mulai memperbaiki regulasi impor yang kacau ini. Tanpa tindakan cepat, pemerintah akan menciptakan bom waktu yang dapat menghancurkan ekonomi nasional.